Dukungan tersebut disampaikan Ketua Mahasiswa Gayo Seluruh Indonesia (PMGI), Syah Putra Ariga, Wakil Ketua BEM Universitas Syiah Kuala Gayo Lues, Hendra Syahputra, serta Ketua LSM Korek, Muhammad Rico, dalam acara podcast di rumah seputar gayo, Kamis 7 Agustus 2025.
Dalam podcast tersebut ketiganya menilai, bahwa keberadaan Qanun tersebut sangat penting dalam mengatur tata kelola kehutanan di Aceh secara berkeadilan dan berkelanjutan, sekaligus berpihak pada masyarakat lokal.
"Kami mendukung penuh upaya Pak Rijaluddin untuk mengembalikan implementasi Qanun Kehutanan Aceh. Ini adalah langkah maju untuk memastikan hak dan kesejahteraan masyarakat, khususnya di kawasan yang hidup berdampingan dengan hutan," ujar Putra.
Hal senada juga disampaikan Wakil Ketua BEM Unsyiah Gayo Lues. Menurutnya, keberadaan Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2016, merupakan bentuk kemandirian Aceh dalam mengelola kekayaan alamnya, sesuai dengan kekhususan dan keistimewaannya.
"Mahasiswa melihat, penerapan Qanun ini bukan hanya soal kehutanan, tapi juga soal perlindungan terhadap masyarakat adat dan kelestarian lingkungan yang berbasis kearifan lokal," ungkapnya.
Sementara itu, Ketua LSM Korek, Muhammad Rico, menyoroti pentingnya keberlanjutan pembangunan yang berbasis lingkungan. Menurutnya, implementasi Qanun kehutanan akan menjadi dasar hukum yang kuat bagi pengelolaan hutan Aceh, agar tidak merugikan masyarakat maupun merusak lingkungan.
"Kami mendukung Qanun Aceh nomor 7 tahun 2016 ini kembali di impelementasikan. Langkah Pak Rijaluddin patut diapresiasi," tegasnya.
Dalam podcast yang dipandu Reporter Seputar Gayo, Arjuna, Rijaluddin menguraikan, dalam pansusnya ke daerah pemilihannya di Gayo Lues, dirinya menemukan Qanun Aceh nomor 7 tahun 2016 sudah tidak diimplementasikan, justru yang dipakai Permen LHK nomor 8 tahun 2021, sehingga dirinya menganggap pengimplementasian Permen ini dan meninggalkan Qanun Aceh tersebut sangat merugikan daerah dan mengkerdilkan kekhususan Aceh.
Untuk itu dirinya berkomitmen, untuk memperjuangkan Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2016 dapat kembali diaktifkan. Ia menilai, Qanun tersebut merupakan bagian penting dalam sistem otonomi khusus Aceh yang harus dijalankan, bukan hanya menjadi simbol di atas kertas.
“Qanun Kehutanan ini hasil perjuangan panjang, maka tidak boleh dikesampingkan. Kita ingin Aceh mandiri dalam pengelolaan hutannya, dengan tetap menjaga kelestarian dan mengedepankan kesejahteraan rakyat,” tutup Rijaluddin. (Dosaino)