Rifqi mengikuti kompetisi tersebut ketika masih duduk di kelas VIII. Dengan penuh percaya diri, ia membawakan puisi berbahasa Gayo yang sarat makna. Setiap bait yang ia lantunkan tidak sekadar rangkaian kata, tetapi lahir dari rasa bangga sekaligus kecintaannya terhadap bahasa dan budaya leluhur.
Rifqi lahir dan besar di Desa Penosan, Kecamatan Blangjerango, dari pasangan Zamzami dan Julaiha. Kehidupan sederhana di desa justru menumbuhkan rasa dekatnya dengan bahasa daerah. Sejak kecil ia terbiasa mendengar cerita rakyat, petuah orang tua, serta ungkapan-ungkapan bijak dalam bahasa Gayo. Dari sanalah, kecintaannya terhadap sastra tumbuh secara alami.
“Rifqi memang suka membaca dan menulis sejak kecil. Dia sering mencoba menuliskan apa saja yang ada di sekitarnya. Kami sebagai orang tua tentu sangat mendukung, apalagi ketika dia menunjukkan minat di bidang puisi,” tutur sang ayah, Zamzami, penuh kebanggaan.
Kepala SMPN 1 Blangjerango, Darmiaty, S.Pd menyebut, prestasi Rifqi merupakan cerminan semangat belajar yang tinggi sekaligus dorongan agar siswa lain tidak takut bermimpi. “Kami sangat bangga. Rifqi sudah menunjukkan, bahwa siswa Blangjerango bisa berbicara di tingkat Aceh. Semoga ini menjadi inspirasi bagi teman-temannya,” ujarnya.
Dalam konteks yang lebih luas, capaian Rifqi Fitri bukan hanya tentang kemenangan sebuah lomba. Lebih dari itu, ia telah menjadi simbol anak muda yang peduli terhadap kelestarian bahasa dan sastra Gayo. Di saat banyak generasi muda yang lebih akrab dengan bahasa asing, Rifqi tampil percaya diri menampilkan bahasa ibu di panggung provinsi.
Kecintaannya terhadap sastra Gayo menjadi pengingat, bahwa bahasa daerah adalah identitas, warisan budaya yang tak boleh hilang ditelan zaman. Semangat Rifqi seolah menyuarakan pesan, bahwa bahasa dan sastra Gayo memiliki daya hidup, sepanjang ada generasi muda yang bersedia merawatnya.
Meski baru duduk di bangku SMP, Rifqi sudah punya cita-cita untuk terus menekuni dunia sastra. Ia berharap prestasinya bisa menjadi motivasi bagi anak-anak Gayo Lues lainnya, untuk tidak malu menggunakan bahasa daerah, baik dalam keseharian maupun dalam karya sastra.
“Saya ingin terus menulis dan membaca puisi. Kalau bisa, saya ingin ikut lomba lagi di tingkat yang lebih tinggi,” ungkap Rifqi dengan penuh semangat.
Prestasi Rifqi Fitri adalah bukti nyata, bahwa dari desa di Blangjerango lahir seorang anak muda yang mampu menjaga warisan budaya melalui sastra. Semangatnya adalah inspirasi, bukan hanya bagi teman-teman sekelasnya, tetapi juga bagi seluruh generasi muda Gayo Lues. (Dosaino)