Gayo Lues, SiberAceh.com - Dari sebuah penginapan sederhana di Blangkejeren tepatnya di Hotel Nusa Indah, puluhan pelaku usaha getah pinus duduk melingkar. Wajah-wajah mereka menyimpan keresahan yang sama, harga rendah, potongan mencekik, dan aturan pemerintah yang justru meminggirkan mereka. Untuk pertama kalinya, mereka bersatu dalam Asosiasi Pengepul Getah Pinus Merkusi.
Musyawarah perdana itu bukan sekadar pertemuan biasa, melainkan suara perlawanan terhadap realitas pahit. Muhammad Ali SH, ketua asosiasi, membuka forum dengan nada tegas.
“Cikal bakal lahirnya asosiasi ini atas dasar keprihatinan, karena saat ini keadaan pelaku usaha getah pinus tidak baik-baik saja. Kita bermasalah dengan harga, bermasalah dengan potongan, dan bermasalah dengan sistem pembayaran,” tegasnya, Rabu 20 Agustus 2025.
Dikatakan, hari ini harga beli getah pinus di Gayo Lues hanya Rp13.000–Rp13.800 per kilogram. Bandingkan dengan daerah tetangga yang bisa mencapai Rp16.000.sampai Rp16.500. Selisih Rp2.500 per kilogram memang terdengar kecil, tapi bila dikalkulasikan dengan seorang petani yang memiliki produksi 1 ton per bulan, tentu merugi sekitar Rp2 juta rupiah. Bayangkan jika kerugian itu dialami 5 ribu petani. Dalam sebulan, uang yang seharusnya berputar di kantong masyarakat mencapai Rp10 miliar justru lenyap. Bagi petani getah pinus, angka ini bukan sekadar statistik, melainkan perbedaan antara dapur yang mengepul atau tidak.
Selain itu, ada lagi masalah lain yang membuat petani terjepit, yakni aturan Pemerintah Aceh yang melarang getah pinus mentah keluar daerah, yang diperbolehkan keluar getah pinus yang sudah diolah menjadi gondorukem di pabrik lokal. Praktiknya, tentu petani tidak punya pilihan lain, selain menjual ke satu penampung resmi.
Bagi Muhammad Ali, kebijakan itu ibarat menutup pintu rezeki, “Aturan ini justru memiskinkan kita. Dari sisi pendapatan daerah juga nol rupiah. Intinya masyarakat dirugikan, daerah juga dirugikan,” tandasnya, seraya menambahkan, dengan monopoli pasar, petani kehilangan daya tawar. Harga tak lagi ditentukan mekanisme pasar, melainkan ditentukan sepihak.
Di luar soal harga, status lahan pun menjadi titik kritis. Banyak petani yang dituding menggarap hutan negara, padahal sebagian besar lahan justru masuk dalam Areal Penggunaan Lain (APL). Asosiasi menilai, stigma itu digunakan untuk melemahkan posisi petani. Untuk itu melalui asosiasi yang kini berbadan hukum, para pengepul dan petani berharap bisa memperkuat kelembagaan.
“Kita tidak anti siapa pun, tetapi ketika ditekan secara regulasi yang merugikan masyarakat, kita akan melawan,” pungkas Muhammad Ali.
Musyawarah ini tak berlangsung sendiri. Sejumlah tokoh legislative juga hadir memberi dukungan moral, mulai dari Ketua DPRK Gayo Lues, H. Ali Husin, Wakil Ketua, Fahmi Sahab, hingga para anggota seperti, H. Ibnu Hasim, Muhammad El Amin, Ali Amran dan Abdul Karim.
Kehadiran mereka memberi sinyal, bahwa masalah getah pinus ini bukan isu kecil, melainkan menyangkut hajat hidup masyarakat luas, yang sejatinya bisa menjadi berkah ekonomi bagi masyarakat. Akan tetapi, selama regulasi menciptakan monopoli dan menutup akses pasar, maka getah pinus ini belum mampu meningkatkan taraf ekonomi petani getah.
Kini, bola ada di tangan pemerintah: apakah memilih berpihak pada masyarakat yang menggantungkan hidupnya di hutan pinus?, atau terus membiarkan kebijakan yang merampas hak-hak mereka?. (Dosaino)